Seni Rupa Terapan (Masjid Agung Pondok Tinggi)
Seni
rupa
terapan
adalah
karya
seni
rupa
yang tidak hanya digunakan untuk hiasan atau pajangan di rumah, tetapi bisa memberikan manfaat lain bagi kehidupan sehari-hari.
# Seni Rupa Arsitektur
Seni rupa arsitektur merupakan seni rupa terapan yang berbentuk bangunan. Contohnya seperti tempat tinggal, kantor, tempat ibadah dan bangunan lainnya.
Di
Kota Sungai Penuh, Mesjid Agung Pondok tinggi
merupakan
salah
satu
contoh
dari
seni
rupa
arsitektur.
Mesjid
ini
tidak
hanya
sekedar
sebuah
tempat
ibadah
bagi
umat
islam
tetapi
juga
termasuk
dalam
salah
satu
peninggalan
sejarah,
dan
memiliki
nilai
seni
yang tinggi.
Sejarah Masjid Agung Pondok Tinggi
Masjid
Agung
Pondok
Tinggi
dibangun
secara
bergotong-royong
oleh
warga
Desa
Pondok
Tinggi,
Kota Sungai Penuh,
Provinsi Jambi pada
tahun
1874 M. Menurut masyarakat setempat, pembangunan dimulai pada Rabu, 1 Juni 1874, dan selesai pada 1902. Kala itu warga Sungai Penuh
tak
lebih
dari
90 Kepala keluarga saja. Untuk melakukan pembangunan masjid, sebagian besar warga baik laki-laki dan perempuan bergotong-royong mengumpulkan kayu. Untuk meningkatkan semangat kerja, warga dusun juga mengadakan pergelaran berbagai seni pertunjukan tradisional Kerinci, di antaranya pencak silat.
Setelah
kayu
terkumpul
dan
pondasi
berhasil
dibangun,
warga
kemudian
mengadakan
musyawarah
untuk
membentuk
panitia
pelaksana
pembangunan
masjid. untuk arsitektur bangunan dipercayakan kepada M. Tiru seorang warga Dusun Pondok Tinggi. Untuk mengerjakan rancangan tersebut, dipilih 12 tukang bangunan yang dianggap memiliki keahlian mumpuni.
Ke
12 orang tukang bangunan tersebut bertugas membantu mengukur, memotong, dan memilah berbagai komponen bangunan. Sementara itu, masyarakat setempat turut serta membantu pembangunan secara bergotong royong, terutama dalam menyediakan bahan-bahan untuk keperluan pembangunan. Pembangunan Masjid Agung Pondok Tinggi baru selesai secara permanen pada tahun 1902.
Arsitektural Masjid Agung Pondok Tinggi
* Atap
Arsitekur
dibangun
mengikuti
model arsitektur masjid asli Nusantara dengan ciri atap limas
tumpang
tiga,
bagian
atasnya
dihiasi
dengan
lambang
bulan
sabit
dan
bintang.
*Pondasi
Masjid Agung Pondok Tinggi ditopang 36 tiang penyangga. Ke 36 tiang tersebut dibagi menjadi 3 kelompok tiang, yaitu tiang panjang sembilan (tiang tuo), tiang panjang limau (panjang lima), dan tiang panjang duea (tiang panjang dua). Tiang-tiang tersebut ditata sesuai dengan ukuran, komposisi, dan letaknya masing-masing.
*Pondasi
Masjid Agung Pondok Tinggi ditopang 36 tiang penyangga. Ke 36 tiang tersebut dibagi menjadi 3 kelompok tiang, yaitu tiang panjang sembilan (tiang tuo), tiang panjang limau (panjang lima), dan tiang panjang duea (tiang panjang dua). Tiang-tiang tersebut ditata sesuai dengan ukuran, komposisi, dan letaknya masing-masing.
Masjid
Agung
Pondok
Tinggi
berukuran
30 x 30 meter dengan tinggi bangunan setinggi 100 kaki atau sekitar 30,5 meter dari lantai dasar hingga ke puncak atap. Dinding masjid terbuat dari kayu dan dihias dengan ukiran motif tumbuhan dan mempunyai kisi-kisi yang berfungsi sebagai ventilasi. Dilengkapi dengan berbagai hiasan motif geometris. Pada setiap sudut dinding terdapat hiasan motif sulur-suluran. Sedangkan lantai masjid terbuat dari ubin. Masjid ini mempunyai 2 buah pintu masuk berdaun ganda yang berhiaskan ukiran motif tumpal dan sulur-suluran.
Tabuh Larangan
Mesjid
Agung
Pondok
Tinggi
mempunyai
dua
beduk
besar.
Yang besar disebut “Tabuh Larangan”. Beduk ini dibunyikan, apabila ada kejadian seperti kebakaran, banjir, dan lain-lain. Beduk besar ini berukuran : panjang 7,5 m, garis tengah bagian yang dipukul 1,15 m, dan bagian belakang 1, 10 m. Beduk yang kecil berada di luar mesjid dengan ukuran : panjang 4, 25 m, garis tengah yang dipukul (bagian depan 75 cm dan bagian belakang 69 cm). Beduk ini dibuat dari kayu yang sangat besar, ditarik beramai-ramai dari rimba, dan dilubangi bergotong-royong.
0 komentar: